EYANG KAKUNG
Jika
bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota
yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang
lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
“Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas
Wiwit, waktu itu.
“Aku tetap tidak setuju.”
“Setuju atau tidak, aku berangkat.”
Kutangkap pancaran menantang di mata
Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri
laki-laki.
“Berangkatlah! Capailah apa yang
ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
“Kau?”
Kurasa, ada getaran tak rela dalam
pertanyaan Wiwit.
“Aku pun akan meninggalkan kota ini,
dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
“Kita sudah tak mampu lagi saling
bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
“Ya, tapi paling tidak, kita masih
sempat saling menghargai.”
“Benarkah kita sudah saling
menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan
Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus
berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
Seminggu setelah malam keputusan
itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan
diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk
dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam
menggeluti dunia peran dan pementasan.
Kalau sekarang ini aku pulang,
sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari
bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya
kangen padaku.
Baik keluargaku maupun keluarga
Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping
hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap
hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan
hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga
ikut sedih. Lalu sekarang?
Entahlah. Aku tidak berani menduga
apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup
kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung
sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri
menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi
selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
Kini, aku berdiri tepat di depan
pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit
yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap
pandang dengannya?
Tok, tok, tok!
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumssalam!”
Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik
Ida, adik Wiwit.
Seisi rumah pun, kecuali Eyang
Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama
setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika
suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam kamar.
“Siapa yang datang, Win?” tanya
Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului
masuk ke kamar Eyang Kakung.
“Saya, Eyang.”
Eyang Kakung menatapku dengan pandangan
sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di
wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku.
Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
“Eyang kira, kau sudah lupa sama
Eyang.”
“Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan,
kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai
di rumah ini hanya Wiwit.”
“Bukan begitu, Eyang. Di Jogja
saya…..”
“Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun
disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang
sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit
belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu
tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau
kecewa.
“Jangan
khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya,
mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami
semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut.
Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar
menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak
mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang
Kakung!”
Wiwit
langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku
duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah
kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar
terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit
menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal.
Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran
Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian
memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu
Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan
sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama
aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya,
Eyang.”
“Kau
mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau
tidak?”
Sulit.
Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji
itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku
mengangguk.
“Terima
kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak
perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya
kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku
bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan
ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi,
entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku
sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah,
kemarikan tanagn kalian.”
Eyang
Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar.
Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali
kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung
memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana,
Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat
Eyang Kakung.”
“Kamu
percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di
belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit
mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti,
kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?”
Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak
ini.
“Tidak.”
Wiwit
terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia
menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit,
Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling
mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia
tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita
tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya,
jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan
celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa
saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah
justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi,
meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung,
Ndri.”
“Aku
lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung,
ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang
tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali
Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit
menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta
Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman
tanganku.
“Maafkan
kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang
kakung.
Aku
dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.