Rabu, 02 November 2016

TUGAS JAMAN DULU

Simulakrum Jaman Edan Era R. Ng. Ranggawarsito
            Membicarakan simulakrum jaman edan para filsuf Yunani berpendapat bahwa dunia yang kita huni sekarang ini dinyatakan sebagai tiruan dunia murni yang bersifat transcendental. Banyak para penyair dan sastrawan, menangkap bahwa dunia nyata yang kita tempati sekarang ini sudah edan. Dari pendapat itulah para sastrawan dan penyair berani bermain simulakrum atau menyiasati untuk menghadapi jaman edan ini dengan menelanjangi realitas, yang artinya kita mengupas tuntas segala realita kehidupan yang terjadi di sekitar lingkungan kita ini mengambil hal-hal yang positif untuk bisa mengatasi jaman yang sudah edan ini. Selanjutnya dengan cara membungkus realitas agar tidak terlalu vulgar, artinya para sastrawan menanggapi jaman edan ini dengan cara membuat sebuah karya, contohnya saja dengan membuat puisi yang mana isinya menyinggung jaman edan dengan sentuhan-sentuhan politiknya.
            Konteks jaman edan di atas menunjukkan spirit jaman, manusia serba repot dan salah kaprah menanggapi suasana jaman ini. Semangat jaman di era R. Ng. Ranggawarsito, lebih menekankan dua hal, yaitu: kekuasaan, artinya banyak warga masyarakat yang gila kekuasaan, dan harta benda, artinya sebuah kebanggaan akan sebuah material. Namun jaman edan era Ranggawarsito dengan jaman edan sekarang saya kira berbeda, karena jaman edan sekarang saya kira sudah sangat parah daripada jaman dulu. Saya ambil contoh saja pada era presiden Soeharto, jaman itu Pak Soeharto memegang penuh kekuasaan atas negara ini. Begitu juga harta benda yang sebagian merupakan hasil korupsi dikuasai oleh Pak Soeharto. Pada jaman itu hanya Pak Soeharto saja yang menguasai kekuasaan dan harta benda. Selain Pak Soeharto pasti akan didepak atau dibunuh oleh utusan-utusan Pak Soeharto. Namun, pada jaman edan sekarang ini justru semakin parah. Banyak orang-orang yang berlomba-lomba untuk mengejar kekuasaan dan harta benda, dari para pejabat pemerintahan sampai karyawan perusahaan. Jika sikap seperti itu terus ada pada diri manusia di negara ini maka akan hancurlah sebuah jati diri bangsa dan negara kita.
            Baudrillard (Cavallaro, 2004: 272-273) mengisyaratkan bahwa hiper-realitas adalah sebuah simulakrum. Permainan ilusi yang menciptakan suasana halusinasi dimana manusia hidup dalam keadaan yang tidak nyata. Manusia dikatakan hidup di dunia ini sedang melakukan sebuah sandiwara kehidupan yang mau tidak mau pasti dilakukan.
            Jaman edan tampak mengikuti aliran dan irama kepemimpinan. Begitu pula sastra dan kekuasaan tampak berjalan beriringan. Hegemoni kekuasaan kadang-kadang menekan sumbu batin rakyat, yang artinya kekuasaan para pemimpin terkadang berlaku tidak adil untuk rakyat kecil sehingga rakyat kecil selalu tertekan dengan keadaan yang seperti itu. Keadaan yang seperti itulah yang membuat para sastrawan dan penyair membuat sebuah karya lewat puisi yang isinya untuk menggelitik para pemimpin bangsa supaya keadilan lebih ditegakkan lagi. Adapun kelemahan dari cara yang dilakukan para penyair dan sastrawan itu adalah ketika sebuah karya itu dibuat hanya sebagian kalangan saja yang mungkin menanggapinya, dan tidak sampai kepada presiden untuk ditanggapinya.

            Paling tidak, sampai detik ini manusia dapat diketengahkan bahwa manusia yang gemar bermain simbol tentang jaman edan sudah mewariskan motif dan ideologi. Puisi dan prosa sebagai saksi jaman edan yang penuh teka-teki sebagai sebuah etnografi sastra yang penuh problematika makna. Kalau kita sebagai sastrawan membandingkan puisi dengan cerpen jaman edan, hal itu sama seperti dengan gagasan Benedetto Crose (Gifford, 1995: 2) yaitu sebagai pengambangan dari ide “across leterature”. Artinya persilangan budaya dalam sastra itu wajar terjadi pengambangan dan harus ada timbal balik yang berbeda antara karya-karya yang sudah lebih dahulu muncul dari pada yang sudah terjadi persilangan tersebut. Semuanya karya tersebut pada akhirnya tetap pada wujud aslinya yaitu karya yang ditujukan untuk menanggapi jaman edan yang terjadi dari dulu sampai sekarang ini.

Kamis, 05 Februari 2015

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.

Selasa, 17 Juli 2012


RONGGENG DUKUH PARUH
(CATATAN BUAT EMAK)
Tema cerita : Kisah tentang seluk beluk kehidupan seniman ronggeng di daerah Jawa (Dukuh Paruk).
Setting Cerita : Dukuh Paruk
Tokoh :
1.      Srintil; seorang gadis remaja yatim piatu yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamenggala. Dialah yang disebut ronggeng Dukuh Paruk.
2.      Rasus; seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan martabat rakyat Dukuh Paruk. Ia berusaha melawan hukum adat, terutama hukum adat tentang ronggeng.
3.      Keluarga Sukarya; pasangan suami istri yang merupakan kakek Srintil. Mereka sangat bangga dengan adanya ronggeng.
4.      Kertareja; seorang dukun di Dukuh Paruk.
5.      Dower dan Sulam; dua orang pemuda Dukuh Paruk yang berlomba-lomba untuk mendapatkan Srintil dengan cara menyuap Ki Kertaraja.
Ringkasan Cerita :
            Dukuh Paruk seakan-akan mendapat anugerah nyawa baru ketika Srintil, gadis yatim piatu berusia 11 tahun, dinobatkan menjadi ronggeng. Seluruh penduduk menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Menurut mereka, citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng akan kembali menggema. Padukuhan yang terkenal kering kerontang ini nantinya akan diramaikan lagi dengan kedatangan tamu dari berbagai penjuru desa dan berseliwerannya uang yang dilemparkan ke arah panggung ronggeng Srintil, ramainya seloroh-seloroh cabul, serta terlihatnya pemandangan sikut menyikut antara pesaing yang berusaha merebut ronggeng Srintil atau suasana lainnya yang mengembirakan. Selain itu, bau-bau harum keramatnya Ki Secamenggala akan kembali menyelimuti Dukuh Paruk.
            Orang yang paling merasa berbahagia dengan penobatan Srintil sebagai ronggeng adalah Sukarya dan istrinya yang merupakan kakek dan nenek gadis itu. Usaha mereka mengasuh Srintil, sejak kedua orang tua Srintil meninggal dunia karena keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu itu, tidak sia-sia. Yang penting, tugas mereka untuk menjadikan Srintil sebagai seorang calon ronggeng dapat terlaksana. Bahkan, direstui oleh keramat dukuh ronggeng, Ki Secamenggala.
            Seorang pemuda bernama Rasus justru merasa kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil karena ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Apabila Srintil menjadi ronggeng, berarti gadis itu menjadi milik semua orang. Setiap orang akan bebas meniduri Srintil karena memang begitulah kehidupan seorang ronggeng. Selain itu, sebagai calon ronggeng, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertaraja. Rasus juga telah mengetahui bahwa pemuda yang pertama kali mendapatkan kesucian Srintil adalah Dower dan Sulam sebab mereka telah memenangkan sayembara yang diadakan oleh Ki Dukuh Kertareja. Untuk memenangkan sayembara itu, mereka telah menyuap Ki Kertareja. Sulam menyembahkan seringgit uang emas, sedangkan Dower menyerahkan seekor kerbau dan dua rupiah uang perak kepada Ki kertareja.
            Pada suatu malam ketika Kertareja menobatkan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk, Rasus memperhatikan kekasihnya itu dari kejauhan. Kekasihnya itu dibawa ke makam Ki Secamenggala dan dimandikan di depan makam tersebut. Setelah itu, Srintil menjadi budak kelambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada si Dower da si Sulam, sebagaimana telah ditentukan oleh dukun Kertareja. Tampak, kedua pemuda itu bertengkar di samping rumah dukun Kertareja untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak pertama kali meniduri Srintil. Ketika Rasus menyaksikan pertengkaran kedua pemuda tersebut secara diam-diam, Srintil datang menghampirinya dan ia meminta pemuda itu untuk menggaulinya karena ia sangat membenci Dower dan Sulam. Rasus pun memenuhi permintaan itu, kemudian pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk. Ia meninggalkan gadis yang dicintainya dan sekaligus dibencinya karena kekasihnya itu telah menjadi ronggeng. Ia kemudian mengasingkan diri di desa Dawuan. Ia mencoba menyingkirkan bayangan Srintil. Bahkan, ketika  gadis itu meminta ia untuk menjadi suaminya, ia pun menolaknya. Dalam hatinya timbul kerelaan untuk membiarkan Srintil menjadi milik banyak orang dan menjadi kebanggaan Dukuh Paruk.