Kamis, 05 Februari 2015

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.

Cerpen


EYANG KAKUNG
Jika bukan karena Eyang Kakung, tidak mungkin aku pulang ke kota ini sekarang. Kota yang menyimpan banyak kenangan manis bersama Wiwit. Ketika tiga tahun yang lalu, aku dan Wiwit sepakat menempuh jalan hidup kami masing-masing.
            “Tekadku sudah bulat, Mas,” tegas Wiwit, waktu itu.
            “Aku tetap tidak setuju.”
            “Setuju atau tidak, aku berangkat.”
            Kutangkap pancaran menantang di mata Wiwit. Tak bisa lain, kusambut tantangan itu dengan nada penuh harga diri laki-laki.
            “Berangkatlah! Capailah apa yang ingin kaucapai. Rebutlah apa yang ingin kaurebut.”
            “Kau?”
            Kurasa, ada getaran tak rela dalam pertanyaan Wiwit.
            “Aku pun akan meninggalkan kota ini, dan meraih apa yang ingin kuraih. Mencapai apa yang ingin kucapai.”
            “Kita sudah tak mampu lagi saling bertenggang rasa, rupanya. Kita telah mengabdi pada ego masing-masing.”
            “Ya, tapi paling tidak, kita masih sempat saling menghargai.”
            “Benarkah kita sudah saling menghargai, Mas? Tidakkah justru kita saling tak peduli?”
            Aku tidak menjawab. Kugenggam tangan Wiwit. Dia membalas dengan genggaman pula. Hangat. Duh kenapa kita harus berpisah seperti ini? Aku benar-benar tak rela kalau harus berpisah.
            Seminggu setelah malam keputusan itu, Wiwit berangkat ke Kalimantan. Dengan penuh kesadaran, dia mengabdikan diri menjadi bidan di sana. Aku pun meninggalkan kota ini: ke Jogja dan masuk dalam kelompok teater yang cukup terkenal. Aku bersungguh-sungguh dalam menggeluti dunia peran dan pementasan.
            Kalau sekarang ini aku pulang, sekali lagi hanya karena Eyang Kakung. Empat hari lalu, aku menerima kabar dari bapak bahwa Eyang Kakung sakit keras dan aku harus pulang. Eyang Kakung katanya kangen padaku.
            Baik keluargaku maupun keluarga Wiwit memang belum tahu bahwa aku dan Wiwit telah putus. Hingga, di samping hubungan kedua keluarga tetap berjalan baik, mereka pun masih menganggap hubungan kami lancar-lancar saja. Aku dan Wiwit memang sengaja merahasiakan hubungan kami yang telah berakhir. Saat itu, kami tidak ingin seluruh keluarga ikut sedih. Lalu sekarang?
            Entahlah. Aku tidak berani menduga apa yang bakal terjadi. Apalagi, terus terang, aku sama sekali tidak sanggup kalau bertemu dengan Wiwit lagi. Dia pun pasti pulang, sebab Eyang Kakung sangat sayang padanya. Ah, ingin rasanya aku balik kanan dan membatalkan diri menemui Eyang Kakung. Tapi mau apalagi aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menemui Eyang Kakung dan pasti bertemu dengan Wiwit.
            Kini, aku berdiri tepat di depan pintu rumah Wiwit. Gelisah, hatiku gelisah. Ada ketakutan, jika tiba-tiba Wiwit yang membukakan pintunya. Apa yang akan aku ucapkan kali pertama, jika bertatap pandang dengannya?
            Tok, tok, tok!
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumssalam!”
            Pintu terbuka. “Mas Andri!” pekik Ida, adik Wiwit.
            Seisi rumah pun, kecuali Eyang Kakung, berbarengan menuju pintu. Wajah-wajah riang menyambutku. Tapi tak lama setelah bersalaman, kesedihan kembali membayang di wajah mereka. Apalagi ketika suara Eyang Kakung yang lemah terdengar dari dalam  kamar.
            “Siapa yang datang, Win?” tanya Eyang Kakung pada ibu Wiwit. Namun sebelum ibu Wiwit menjawab, aku mendahului masuk ke kamar Eyang Kakung.
            “Saya, Eyang.”
            Eyang Kakung menatapku dengan pandangan sarat rindu. Perlahan, air mata bergulir melewati garis-garis keriput di wajahnya. Dengan isyarat tangan dan anggukan, dia memintaku mendekat. Aku manut, kemudian Eyang Kakung memelukku. Kubalas pelukan Eyang Kakung, kuelus punggungnya, kemudian kucium kening-nya.
            “Eyang kira, kau sudah lupa sama Eyang.”
            “Sejak Wiwit pergi ke Kalimantan, kau tidak pernah datang kemari. Tapi Eyang paham, orang yang paling kau cintai di rumah ini hanya Wiwit.”
            “Bukan begitu, Eyang. Di Jogja saya…..”
            “Sibuk? Sama dengan Wiwit. Dia pun disuruh pulang, selalu menjawab sibuk. Sekarang pun, meski sudah dikabari Eyang sakit keras, Wiwit belum juga pulang.”
Wiwit belum pulang? Pertanyaanku yang hanya menggema dalam hati sejak dibukakan pintu tadi, terjawab sudah. Tapi aku tiba-tiba tidak tahu, harus bersyukur atau kecewa.
“Jangan khawatir, Eyang, Mbak Wiwit pasti pulang,” hibur Ida adik Wiwit.
“Iya, mana mungkin Mbak Wiwit tega sama Eyang Kakung.”
“Assalamu’alaikum!”
Kami semua yang ada di dalam kamar Eyang terkejut mendengar ucapan salam tersebut. Suara pengucap salam itu sangat kami kenal, semua langsung keluar kamar menyambut Wiwit, kecuali aku dan Eyang Kakung. Sebab, Eyang Kakung sudah tidak mampu berdiri, apalagi berjalan. Sedangkan aku sangat sibuk menata hati.
“Eyang Kakung!”
Wiwit langsung mencium tangan dan kedua pipi Eyang Kakung. Dia seolah tak tahu aku duduk di tepi ranjang, pura-pura memijat kaki Eyang Kakung.
“Syukurlah kamu pulang, Wit. Lengkap sudah sekarang. Kekangenan Eyang Kakung benar-benar terobati. Eyang kini tidak berat lagi meninggalkan badan tua dan renta ini.”
Wiwit menoleh padaku. Aku Cuma bisa mengangguk. Dia mencoba tersenyum, tapi gagal. Gemuruh halilintar meramaikan dada dan pikiranku. Mungkin juga dada dan pikiran Wiwit. Eyang Kakung malah tersenyum menyaksikan kekikukan kami.
“Kalian memang cocok,” kata Eyang Kakung pelan, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Bapak-Ibu Wiwit dan Ida menyambut kesimpulan Eyang Kakung dengan senyum penuh arti dan sedikit menggoda. Sungguh, inilah suasana yang paling menyesakkan dada selama aku hidup di dunia. Aku merasa dijepit dan dipojokkan.
“Ndri….”
“Ya, Eyang.”
“Kau mau berjanji pada Eyang?”
“Janji?”
“Mau tidak?”
Sulit. Mau bilang tidak, aku takut Eyang sakit hati. Mau bilang ya, aku takut janji itu ternyata berat dan aku tak sanggup menepati. Tetapi, entah kenapa, kepalaku mengangguk.
“Terima kasih, Ndri. Eyang Cuma minta, kau berjanji selalu menjaga Wiwit. Wiwit tak perlu ke Kalimantan lagi, dan kau pun tak usah ke Jogja lagi. Sudah waktunya kalian menikah. Terlalu lama berpacaran tidak baik. Janji, Ndri?”
Mulutku bungkam. Kutatap Wiwit, dia pun tak mampu berbuat apa-apa. Kualihkan pandangan ke wajah bapak-ibu Wiwit, yang mengelilingi kami.mereka pun diam. Sekali lagi, entah kenapa, kepalaku tiba-tiba mengangguk. Barangkali, tanpa sadar, aku sedang berusaha membalas segala kebaikan Eyang Kakung.
“Nah, kemarikan tanagn kalian.”
Eyang Kakung mempertemukan tangan kami: aku dan Wiwit. Ada geletar mendadak menjalar. Aku bingung. Wajah Wiwit berubah-ubah, kadang merah, kadang pucat. Barangkali kebingungan pun sedang mendera hati dan pikirannya. Sementara itu, Eyang Kakung memejamkan mata sambil mengembangkan senyum tenteram dan bahagia.
“Bagaimana, Ndri?”
“Apa?”
“Wasiat Eyang Kakung.”
“Kamu percaya bila kita tak melaksanakan wasiat orang tua yang hendak meninggal, di belakang hari kita pasti celaka?”
Wiwit mengangguk. Senyum malu terpancar di bibirnya. Duh Gusti, senyum itu mempesona.
“Berarti, kita harus melaksanakan wasiat Eyang Kakung?”
“Menurutmu?” Wiwit balik bertanya padaku, menyelamatkan diri dari pertanyaanku yang menjebak ini.
“Tidak.”
Wiwit terkejut. Dan, dia tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Lihat saja, dia menatapku dengan mulut agak terbuka.
“Wiwit, Eyang Kakung sama sekali tidak tahu bahwa di antara kita, selain saling mencintai, tidak mempunyai kecocokan yang lain lagi. Jika Eyang Kakung tahu,dia tidak akan berwasiat seperti itu.
“Jadi?”
“Kita tetap saja seperti dulu. Aku ke Jogja, kau ke Kalimantan. Aku lebih percaya, jika kita menikah sesuai dengan keiniginan Eyang Kakung, justru kita kelak akan celaka setiap hari. Pernikahan, kau pun tahu, tidak mungkin hanya didasari rasa saling mencinta. Banyak hal lain yang ikut mendukung keutuhannya. Dan itulah justru yang tidak kita miliki.”
“Tapi, meski hanya dengan anggukan kepala, keu telah berjanji pada Eyang Kakung, Ndri.”
“Aku lebih berani menanggung dosa karena tidak menepati janji pada Eyang Kakung, ketimbang menanggung dosa karena mempercayai hal-hal yang seharusnya memang tidak boleh dipercaya. Setiap orang mempunyai keinginan, Wiwit, tak terkecuali Eyang Kakung. Tetapi, tidak setiap keinginan terealisasi bukan?”
Wiwit menanggapi retorikaku dengan mengeratkan genggaman ke tangnaku. Dara cinta Wiwit mengalir memasuki setiap nadi sukmaku. Aku pun mengeratkan genggaman tanganku.
“Maafkan kami, Eyang,” kataku dalam hati, sambil menaburkan bunga di atas makam Eyang kakung.

Aku dan Wiwit pulang bersama, di jalan yang berbeda.