Selasa, 17 Juli 2012


RONGGENG DUKUH PARUH
(CATATAN BUAT EMAK)
Tema cerita : Kisah tentang seluk beluk kehidupan seniman ronggeng di daerah Jawa (Dukuh Paruk).
Setting Cerita : Dukuh Paruk
Tokoh :
1.      Srintil; seorang gadis remaja yatim piatu yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamenggala. Dialah yang disebut ronggeng Dukuh Paruk.
2.      Rasus; seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan martabat rakyat Dukuh Paruk. Ia berusaha melawan hukum adat, terutama hukum adat tentang ronggeng.
3.      Keluarga Sukarya; pasangan suami istri yang merupakan kakek Srintil. Mereka sangat bangga dengan adanya ronggeng.
4.      Kertareja; seorang dukun di Dukuh Paruk.
5.      Dower dan Sulam; dua orang pemuda Dukuh Paruk yang berlomba-lomba untuk mendapatkan Srintil dengan cara menyuap Ki Kertaraja.
Ringkasan Cerita :
            Dukuh Paruk seakan-akan mendapat anugerah nyawa baru ketika Srintil, gadis yatim piatu berusia 11 tahun, dinobatkan menjadi ronggeng. Seluruh penduduk menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Menurut mereka, citra Dukuh Paruk sebagai Dukuh Ronggeng akan kembali menggema. Padukuhan yang terkenal kering kerontang ini nantinya akan diramaikan lagi dengan kedatangan tamu dari berbagai penjuru desa dan berseliwerannya uang yang dilemparkan ke arah panggung ronggeng Srintil, ramainya seloroh-seloroh cabul, serta terlihatnya pemandangan sikut menyikut antara pesaing yang berusaha merebut ronggeng Srintil atau suasana lainnya yang mengembirakan. Selain itu, bau-bau harum keramatnya Ki Secamenggala akan kembali menyelimuti Dukuh Paruk.
            Orang yang paling merasa berbahagia dengan penobatan Srintil sebagai ronggeng adalah Sukarya dan istrinya yang merupakan kakek dan nenek gadis itu. Usaha mereka mengasuh Srintil, sejak kedua orang tua Srintil meninggal dunia karena keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu itu, tidak sia-sia. Yang penting, tugas mereka untuk menjadikan Srintil sebagai seorang calon ronggeng dapat terlaksana. Bahkan, direstui oleh keramat dukuh ronggeng, Ki Secamenggala.
            Seorang pemuda bernama Rasus justru merasa kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil karena ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Apabila Srintil menjadi ronggeng, berarti gadis itu menjadi milik semua orang. Setiap orang akan bebas meniduri Srintil karena memang begitulah kehidupan seorang ronggeng. Selain itu, sebagai calon ronggeng, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertaraja. Rasus juga telah mengetahui bahwa pemuda yang pertama kali mendapatkan kesucian Srintil adalah Dower dan Sulam sebab mereka telah memenangkan sayembara yang diadakan oleh Ki Dukuh Kertareja. Untuk memenangkan sayembara itu, mereka telah menyuap Ki Kertareja. Sulam menyembahkan seringgit uang emas, sedangkan Dower menyerahkan seekor kerbau dan dua rupiah uang perak kepada Ki kertareja.
            Pada suatu malam ketika Kertareja menobatkan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk, Rasus memperhatikan kekasihnya itu dari kejauhan. Kekasihnya itu dibawa ke makam Ki Secamenggala dan dimandikan di depan makam tersebut. Setelah itu, Srintil menjadi budak kelambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada si Dower da si Sulam, sebagaimana telah ditentukan oleh dukun Kertareja. Tampak, kedua pemuda itu bertengkar di samping rumah dukun Kertareja untuk menentukan siapa diantara mereka yang berhak pertama kali meniduri Srintil. Ketika Rasus menyaksikan pertengkaran kedua pemuda tersebut secara diam-diam, Srintil datang menghampirinya dan ia meminta pemuda itu untuk menggaulinya karena ia sangat membenci Dower dan Sulam. Rasus pun memenuhi permintaan itu, kemudian pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk. Ia meninggalkan gadis yang dicintainya dan sekaligus dibencinya karena kekasihnya itu telah menjadi ronggeng. Ia kemudian mengasingkan diri di desa Dawuan. Ia mencoba menyingkirkan bayangan Srintil. Bahkan, ketika  gadis itu meminta ia untuk menjadi suaminya, ia pun menolaknya. Dalam hatinya timbul kerelaan untuk membiarkan Srintil menjadi milik banyak orang dan menjadi kebanggaan Dukuh Paruk.





CANTING
Tema Cerita : Cerita ini menggambarkan pengabdian seorang wanita Jawa kepada suami dan seluruh keluarganya. Selain itu juga menceritakan bagaimana ia berjuang membantuusaha suaminya. Sekalian hari-harinya sibuk dengan kegiatan usahanya, ia tidak  pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Di samping kedua hal tersebut, novel ini juga mengajukan masalah persaingan dalam bisnis batik tradisional di tengah-tengah produk batik yang dikelola oleh pabrik-pabrik modern.
Setting Cerita : Terjadi di tengah-tengah masyarakat Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan segala macam adat istiadat, tata krama, serta produk kain batik khas Jawa.
Tokoh-tokoh :
1.      Ngabehi Setrokusumo; keturunan bangsawan keraton. Dia seorang priyayi dan juga kepala keluarga yang bijak, baik, serta sangat dihormati. Dia seorang pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo.
2.      Tuginem; seorang perempuan tegar, sabar dan bijak, serta penuh tanggung jawab dan penuh pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Sebelumnya, Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik batik. Dia menikah dengan pemilik pabrik batik tradisional tempat dia bekerja, yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo. Setelah menikah dengan priyayi tersebut, namanya berubah menjadi Bu Bei. Dialah yang kemudian mengurus usaha batik tradisional milik suaminya dengan sukses. Dia merupakan seorang wanita karier yang sukses.
3.      Wahyu Dewabrata; putra sulung keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo.
4.      Lintang Dewanti; putra kedua keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi istri seorang kolonel.
5.      Bayu Dewasunu; putra ketiga keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter gigi.
6.      Ismaya Dewakusuma; putra keempat Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang insinyur.
7.      Wening Dewamurti; putra kelima Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter andal dan menjadi kontraktor yang sukses.
8.      Subandini Dewaputri; putra bungsu keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia seorang sarjana farmasi, yang kemudian berusaha membangkitkan kembali usaha batik tradisional keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo.
9.      Hermawan; suami Subandini Dewaputri.

Ringkasan Cerita :
            Seorang pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo bernama Raden Ngabehi Setrokusumo tiba-tiba membuat geger keluarganya. Betapa tidak, dia adalah seorang keturunan keraton, kaya, serta dihormati dan disegani oleh semua orang, namun memutuskan untuk menikah dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga keraton. Wanita yang hendak dinikahinya itu bernama Tuginem, salah seorang buruh pabrik batik tradisoional milik Raden Ngabehi Setrokusumo. Karena Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik yang miskin dan bukan berasal dari keraton, dan bukan pula berasal dari kalangan priyayi seperti Raden Ngabehi Setrokusumo, maka pernikahan mereka banyak mendapat tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Setrokusumo. Sekalipun demikian, pernikahan itu tetap dilangsungkan.
            Rumah tangga Raden Ngabehi Setrokusumo dan Tuginem sangat harmonis. Keduanya sama-sama merasakan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tuginem yang merasa mendapat anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar mengabdikan dirinya kepada suaminya. Setelah menikah, ia dipanggil dengan nama Ibu Bei. Secara diam-diam, Ibu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Berkat kerja kerasnya, usaha batik merk Canting milik mereka berkembang pesat.
            Walaupun Bu Bei telah menjadi seorang wanita karier, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan baik. Itulah sebabnya keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Wening Dewamurti menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Namun, kekuatan Bu Bei dalam mengurus usaha batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama semakin berkurang akibat termakan usia. Kelincahannya dalam menangani para pedagang di pasar klewer Solo, tempat ia menjajakan batik Canting-nya mulai menurun. Padahal batik Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari produk pabrik besar dan modern.
            Melihat usaha batik Canting milik orang tuanya menurun, Subandini Dewaputri, putri bungsu Raden ngabehi Setrokusumo, merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja.dia ingin membangkitkan kembali usaha keluarganya. Namun, niatnya ditentangoleh semua kakaknya. Akibatnya, terjadi perselisihan di antara mereka. Namun, perselisihan tersebut dapat diselesaikan oleh Raden Ngabehi Setrokusumo dengan penuh bijaksana dan kewibawaan. Tidak lama kemudian, Ibu Bei meninggal dunia.
            Subandini atau Ni mengambil alih usaha batik itu. Dengan penuh semangat, dia berusaha melakukan persaingan dengan batik-batik keluaran pabrik-pabrik besar. Namun, ia kalah bersaing. Perjuangan batik mereka semakin melorot. Dia merasa frustasi dan akibatnya jatuh sakit. Bahkan, ia hampir meninggal dunia karena sakitnya yang sangat parah. Ketika sakit itulah, timbul dalam kesadaran dirinya. Dia mulai memahami mengapa usaha batiknya tak dapat bersaing dengan produk-produk keluaran pabrik. Salah satu penyebabnya adalah masalah merk. Dengan keteguhan hatinya, Ni akhirnya memutuskan untuk mengubah merk Canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
            Keputusan mengubah nama Canting menjadi Canting Daryono itu sangat tepat. Usaha barik mereka, secara perlahan tetapi pasti, mulai mampu bersaing di pasaran. Ni tidak menangani usaha itu seorang diri, dia dibantu oleh kakak-kakaknya. Batik mereka mulai dikenal lagi, tidak hanya didalam negeri, namun mulai dilirik turis asing. Sungguh suatu kerja keras yang tiada henti. Mereka sekeluarga saling bahu-membahu menangani usaha tersebut.
            Ni akhirnya menikah dengan Hermawan, pria pilihan hatinya yang telah lama menunggunya selama gadis itu menangani perusahaan keluarganya. Pesta perkawinan mereka diadakan tepat pada hari selamatan tahunan meninggalnya Bu Bei, pengelola batik Canting yang paling legendaris dalam dalam keluarga besar Setrokusumo.
           

Senin, 09 Juli 2012


RESENSI NON FIKSI


Judul buku      : Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
Penulis             : Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U
Penerbit           : Pustaka Pelajar
Tahun terbit     : 2011
Tebal buku      : 406 halaman

Sastra merupakan salah satu seni kebahasaan yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Hingga saat ini sastra tidak hanya dinilai sebagai sebuah karya yang imajinasi ataupun emosi, tetapi dianggap sebagai suatu karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi.
Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan yang berlangsung sepanjang zaman. Sastra yang telah dilahirkan oleh para sastrawan diharapkan dapat memberi kepuasan estetik dan intelek bagi pembacanya. Tetapi sering kali suatu karya sastra itu tidak mampu dinikmati dan dipahami sepenuhnya oleh sebagian besar masyarakat.
 Dalam hubungan ini perlu adanya penelaah dan peneliti sastra, dengan harapan sastra kedepan lebih bermutu., kemampuan baca masyarakat meningkat, dan dunia teori ilmu kesastraan meningkat pula. Atas dasar itulah buku ini ditulis, penulis mencoba memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai kegiatan telaah karya sastra melaluisebuah penelitian sastra. Belakangan ini sastra kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Tidak seperti kebanyakan buku lain yang juga membahas penelitian sastra, buku ini memuat isi yang cenderung lebih lengkap dan luas. Buku ini menghadirkan berbagai kemudahan bagi pembacanya untuk memahami apa itu penelitian sastra yang sebenarnya dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami oleh siapapun. Terlebih lagi bagi para pelajar, mahasiswa, bahkan dosen sekalipun. Dari segi tampilan pun buku ini terlihat menarik, sehingga menambah nilai plus.
Sebagian penulis justru kurang memperhatikan segi tampilan dari buku yang ia tulis. Padahal dengan tampilan yang menarik ketertarikan seseorang untuk membaca pun bisa saja meningkat. Untuk segi isi, buku ini berisikan mengenai materi prinsip-prinsip dasar dalam pembuatan sebuah penelitian sastra. Dari mulai persiapan, perumusan masalah, hipotesis, sampai pada proses penyelesaian.
Konsep-konsep dasar dalam penelitian sastra, seperti tujuan, kriteria, metode dan unsur-unsur penelitian dikupas secara singkat tetapi tetap berbobot yang disusun ke dalam beberapa bab yang terpisah. Lebih dari itu, buku ini juga banyak membahas bagaimana membuat penelitian sastra yang baik dengan melalui serangkaian contoh yang disajikan.
Tidak seperti halnya kebanyakan buku yang justru mementingkan pada teori daripada penerapannya yang justru mempersulit dalam proses pemahaman materi. Melalui serangkaian contoh tersebutlah pembaca diajak untuk memahami materi dasar untuk kemudian diterapkan langsung dalam kenyataanya. Model peraga berupa gambar ataupun bagan juga disajikan untuk mempermudah penyampaian materi kepada pembaca.
Di lain pihak buku ini mambahas penelitian sastra dan tidak membedakan antara jenis penelitian sastra dengan penelitian lainnya, seperti kebanyakan buku lain justru membedakannya. Buku ini justru membahas penelitian sastra ini sebagai sebuah bagian dari penelitian umum tanpa ada sedikit perbedaan. Karena pada hakikatnya ada sedikit perbedaan antara penelitian sastra dan penelitian umum.
Kelebihan yang lain, buku ini juga dapat membuka cakrawala para pembaca mengenai penelitian sastra secara menyeluruh. Karena isinya cukup lengkap mengenai seluk-beluk sastra yang mudah untuk dipahami. Selain itu dalam buku ini juga dituliskan beberapa sastrawan terkenal didunia beserta karya sastra yang ditulisnya.
Adapun kekurangan dalam buku ini antara lain bahasa yang digunakan dalam buku ini kurang mudah dipahami. Selain itu adanya sebagian pembahasan materi yang tidak disertai dengan ilustrasi yang kurang konkrit.
Terlepas dari itu semua, buku ini tetap layak untuk mendapat perhatian dari masyarakat, terutama bagi mereka yang hendak melakukan sebuah penelitian atau telaah sastra yang banyak dilakukan oleh para mahasiswa dan dosen dalam kuliahnya. Buku ini juga sangat cocok untuk dijadikan bahan referensi dalam setiap melakukan sebuah penelitian.
Penulis semata-mata menerjemahkan, mengutip, mencampuradukkan dalam rangakaian yang intertekstualitas. Keberhasilan penulis terletak dalam keberhasilannya dalam mencampuradukkan segala aspek yang terkandung dalam sastra itu sendiri. Perlu dipahami bahwa tidak semua penulis mempunyai kemampuan untuk mencampuradukkan sehingga menjadi padu seperti buku ini.