CANTING
Tema Cerita
: Cerita ini menggambarkan pengabdian seorang wanita Jawa kepada suami dan
seluruh keluarganya. Selain itu juga menceritakan bagaimana ia berjuang
membantuusaha suaminya. Sekalian hari-harinya sibuk dengan kegiatan usahanya,
ia tidak pernah melalaikan tanggung
jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Di samping kedua hal tersebut, novel
ini juga mengajukan masalah persaingan dalam bisnis batik tradisional di
tengah-tengah produk batik yang dikelola oleh pabrik-pabrik modern.
Setting Cerita
: Terjadi di tengah-tengah masyarakat Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan
segala macam adat istiadat, tata krama, serta produk kain batik khas Jawa.
Tokoh-tokoh
:
1. Ngabehi Setrokusumo;
keturunan bangsawan keraton. Dia seorang priyayi dan juga kepala keluarga yang
bijak, baik, serta sangat dihormati. Dia seorang pengusaha batik tradisional
merk Canting di Solo.
2. Tuginem;
seorang perempuan tegar, sabar dan bijak, serta penuh tanggung jawab dan penuh
pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Sebelumnya, Tuginem hanyalah seorang
buruh pabrik batik. Dia menikah dengan pemilik pabrik batik tradisional tempat
dia bekerja, yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo. Setelah menikah dengan priyayi
tersebut, namanya berubah menjadi Bu Bei. Dialah yang kemudian mengurus usaha
batik tradisional milik suaminya dengan sukses. Dia merupakan seorang wanita
karier yang sukses.
3. Wahyu Dewabrata;
putra sulung keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo.
4. Lintang Dewanti;
putra kedua keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi istri seorang
kolonel.
5. Bayu Dewasunu;
putra ketiga keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter
gigi.
6. Ismaya Dewakusuma;
putra keempat Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang insinyur.
7. Wening Dewamurti;
putra kelima Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter andal dan
menjadi kontraktor yang sukses.
8. Subandini Dewaputri;
putra bungsu keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia seorang sarjana farmasi,
yang kemudian berusaha membangkitkan kembali usaha batik tradisional keluarga
Raden Ngabehi Setrokusumo.
9. Hermawan;
suami Subandini Dewaputri.
Ringkasan
Cerita :
Seorang pengusaha batik tradisional
merk Canting di Solo bernama Raden Ngabehi Setrokusumo tiba-tiba membuat geger
keluarganya. Betapa tidak, dia adalah seorang keturunan keraton, kaya, serta
dihormati dan disegani oleh semua orang, namun memutuskan untuk menikah dengan
wanita yang bukan berasal dari keluarga keraton. Wanita yang hendak dinikahinya
itu bernama Tuginem, salah seorang buruh pabrik batik tradisoional milik Raden
Ngabehi Setrokusumo. Karena Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik yang miskin
dan bukan berasal dari keraton, dan bukan pula berasal dari kalangan priyayi
seperti Raden Ngabehi Setrokusumo, maka pernikahan mereka banyak mendapat
tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Setrokusumo. Sekalipun demikian,
pernikahan itu tetap dilangsungkan.
Rumah tangga Raden Ngabehi
Setrokusumo dan Tuginem sangat harmonis. Keduanya sama-sama merasakan
kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tuginem yang merasa mendapat
anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar mengabdikan dirinya kepada
suaminya. Setelah menikah, ia dipanggil dengan nama Ibu Bei. Secara diam-diam,
Ibu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Berkat kerja
kerasnya, usaha batik merk Canting milik mereka berkembang pesat.
Walaupun Bu Bei telah menjadi
seorang wanita karier, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu
rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan baik. Itulah
sebabnya keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Wahyu
Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu
menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Wening Dewamurti
menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu
Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Namun, kekuatan Bu Bei dalam
mengurus usaha batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama
semakin berkurang akibat termakan usia. Kelincahannya dalam menangani para
pedagang di pasar klewer Solo, tempat ia menjajakan batik Canting-nya mulai
menurun. Padahal batik Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari
produk pabrik besar dan modern.
Melihat usaha batik Canting milik
orang tuanya menurun, Subandini Dewaputri, putri bungsu Raden ngabehi Setrokusumo,
merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela
jika usaha keluarganya hancur begitu saja.dia ingin membangkitkan kembali usaha
keluarganya. Namun, niatnya ditentangoleh semua kakaknya. Akibatnya, terjadi
perselisihan di antara mereka. Namun, perselisihan tersebut dapat diselesaikan
oleh Raden Ngabehi Setrokusumo dengan penuh bijaksana dan kewibawaan. Tidak
lama kemudian, Ibu Bei meninggal dunia.
Subandini atau Ni mengambil alih
usaha batik itu. Dengan penuh semangat, dia berusaha melakukan persaingan
dengan batik-batik keluaran pabrik-pabrik besar. Namun, ia kalah bersaing.
Perjuangan batik mereka semakin melorot. Dia merasa frustasi dan akibatnya
jatuh sakit. Bahkan, ia hampir meninggal dunia karena sakitnya yang sangat
parah. Ketika sakit itulah, timbul dalam kesadaran dirinya. Dia mulai memahami
mengapa usaha batiknya tak dapat bersaing dengan produk-produk keluaran pabrik.
Salah satu penyebabnya adalah masalah merk. Dengan keteguhan hatinya, Ni
akhirnya memutuskan untuk mengubah merk Canting menjadi Canting Daryono. Dengan
nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
Keputusan mengubah nama Canting
menjadi Canting Daryono itu sangat tepat. Usaha barik mereka, secara perlahan
tetapi pasti, mulai mampu bersaing di pasaran. Ni tidak menangani usaha itu
seorang diri, dia dibantu oleh kakak-kakaknya. Batik mereka mulai dikenal lagi,
tidak hanya didalam negeri, namun mulai dilirik turis asing. Sungguh suatu
kerja keras yang tiada henti. Mereka sekeluarga saling bahu-membahu menangani
usaha tersebut.
Ni akhirnya menikah dengan Hermawan,
pria pilihan hatinya yang telah lama menunggunya selama gadis itu menangani
perusahaan keluarganya. Pesta perkawinan mereka diadakan tepat pada hari
selamatan tahunan meninggalnya Bu Bei, pengelola batik Canting yang paling
legendaris dalam dalam keluarga besar Setrokusumo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar