Selasa, 17 Juli 2012

CANTING
Tema Cerita : Cerita ini menggambarkan pengabdian seorang wanita Jawa kepada suami dan seluruh keluarganya. Selain itu juga menceritakan bagaimana ia berjuang membantuusaha suaminya. Sekalian hari-harinya sibuk dengan kegiatan usahanya, ia tidak  pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga. Di samping kedua hal tersebut, novel ini juga mengajukan masalah persaingan dalam bisnis batik tradisional di tengah-tengah produk batik yang dikelola oleh pabrik-pabrik modern.
Setting Cerita : Terjadi di tengah-tengah masyarakat Jawa Tengah, khususnya Solo, dengan segala macam adat istiadat, tata krama, serta produk kain batik khas Jawa.
Tokoh-tokoh :
1.      Ngabehi Setrokusumo; keturunan bangsawan keraton. Dia seorang priyayi dan juga kepala keluarga yang bijak, baik, serta sangat dihormati. Dia seorang pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo.
2.      Tuginem; seorang perempuan tegar, sabar dan bijak, serta penuh tanggung jawab dan penuh pengabdian terhadap suami dan anak-anaknya. Sebelumnya, Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik batik. Dia menikah dengan pemilik pabrik batik tradisional tempat dia bekerja, yaitu Raden Ngabehi Setrokusumo. Setelah menikah dengan priyayi tersebut, namanya berubah menjadi Bu Bei. Dialah yang kemudian mengurus usaha batik tradisional milik suaminya dengan sukses. Dia merupakan seorang wanita karier yang sukses.
3.      Wahyu Dewabrata; putra sulung keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo.
4.      Lintang Dewanti; putra kedua keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi istri seorang kolonel.
5.      Bayu Dewasunu; putra ketiga keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter gigi.
6.      Ismaya Dewakusuma; putra keempat Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang insinyur.
7.      Wening Dewamurti; putra kelima Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia menjadi seorang dokter andal dan menjadi kontraktor yang sukses.
8.      Subandini Dewaputri; putra bungsu keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo. Dia seorang sarjana farmasi, yang kemudian berusaha membangkitkan kembali usaha batik tradisional keluarga Raden Ngabehi Setrokusumo.
9.      Hermawan; suami Subandini Dewaputri.

Ringkasan Cerita :
            Seorang pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo bernama Raden Ngabehi Setrokusumo tiba-tiba membuat geger keluarganya. Betapa tidak, dia adalah seorang keturunan keraton, kaya, serta dihormati dan disegani oleh semua orang, namun memutuskan untuk menikah dengan wanita yang bukan berasal dari keluarga keraton. Wanita yang hendak dinikahinya itu bernama Tuginem, salah seorang buruh pabrik batik tradisoional milik Raden Ngabehi Setrokusumo. Karena Tuginem hanyalah seorang buruh pabrik yang miskin dan bukan berasal dari keraton, dan bukan pula berasal dari kalangan priyayi seperti Raden Ngabehi Setrokusumo, maka pernikahan mereka banyak mendapat tantangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Setrokusumo. Sekalipun demikian, pernikahan itu tetap dilangsungkan.
            Rumah tangga Raden Ngabehi Setrokusumo dan Tuginem sangat harmonis. Keduanya sama-sama merasakan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Tuginem yang merasa mendapat anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa benar-benar mengabdikan dirinya kepada suaminya. Setelah menikah, ia dipanggil dengan nama Ibu Bei. Secara diam-diam, Ibu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Berkat kerja kerasnya, usaha batik merk Canting milik mereka berkembang pesat.
            Walaupun Bu Bei telah menjadi seorang wanita karier, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan semua anaknya dengan baik. Itulah sebabnya keenam anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang membanggakan. Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma menjadi insinyur, Wening Dewamurti menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Namun, kekuatan Bu Bei dalam mengurus usaha batiknya dan mengurus kehidupan rumah tangganya semakin lama semakin berkurang akibat termakan usia. Kelincahannya dalam menangani para pedagang di pasar klewer Solo, tempat ia menjajakan batik Canting-nya mulai menurun. Padahal batik Canting produk mereka mulai mendapat saingan berat dari produk pabrik besar dan modern.
            Melihat usaha batik Canting milik orang tuanya menurun, Subandini Dewaputri, putri bungsu Raden ngabehi Setrokusumo, merasa tergugah hatinya untuk mengambil alih usaha tersebut. Dia tidak rela jika usaha keluarganya hancur begitu saja.dia ingin membangkitkan kembali usaha keluarganya. Namun, niatnya ditentangoleh semua kakaknya. Akibatnya, terjadi perselisihan di antara mereka. Namun, perselisihan tersebut dapat diselesaikan oleh Raden Ngabehi Setrokusumo dengan penuh bijaksana dan kewibawaan. Tidak lama kemudian, Ibu Bei meninggal dunia.
            Subandini atau Ni mengambil alih usaha batik itu. Dengan penuh semangat, dia berusaha melakukan persaingan dengan batik-batik keluaran pabrik-pabrik besar. Namun, ia kalah bersaing. Perjuangan batik mereka semakin melorot. Dia merasa frustasi dan akibatnya jatuh sakit. Bahkan, ia hampir meninggal dunia karena sakitnya yang sangat parah. Ketika sakit itulah, timbul dalam kesadaran dirinya. Dia mulai memahami mengapa usaha batiknya tak dapat bersaing dengan produk-produk keluaran pabrik. Salah satu penyebabnya adalah masalah merk. Dengan keteguhan hatinya, Ni akhirnya memutuskan untuk mengubah merk Canting menjadi Canting Daryono. Dengan nama baru itu, Ni meneruskan usaha batik tradisional milik keluarganya.
            Keputusan mengubah nama Canting menjadi Canting Daryono itu sangat tepat. Usaha barik mereka, secara perlahan tetapi pasti, mulai mampu bersaing di pasaran. Ni tidak menangani usaha itu seorang diri, dia dibantu oleh kakak-kakaknya. Batik mereka mulai dikenal lagi, tidak hanya didalam negeri, namun mulai dilirik turis asing. Sungguh suatu kerja keras yang tiada henti. Mereka sekeluarga saling bahu-membahu menangani usaha tersebut.
            Ni akhirnya menikah dengan Hermawan, pria pilihan hatinya yang telah lama menunggunya selama gadis itu menangani perusahaan keluarganya. Pesta perkawinan mereka diadakan tepat pada hari selamatan tahunan meninggalnya Bu Bei, pengelola batik Canting yang paling legendaris dalam dalam keluarga besar Setrokusumo.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar