Simulakrum Jaman
Edan Era R. Ng. Ranggawarsito
Membicarakan
simulakrum jaman edan para filsuf Yunani berpendapat bahwa dunia yang kita huni
sekarang ini dinyatakan sebagai tiruan dunia murni yang bersifat
transcendental. Banyak para penyair dan sastrawan, menangkap bahwa dunia nyata
yang kita tempati sekarang ini sudah edan. Dari pendapat itulah para sastrawan
dan penyair berani bermain simulakrum atau menyiasati untuk menghadapi jaman
edan ini dengan menelanjangi realitas, yang artinya kita mengupas tuntas segala
realita kehidupan yang terjadi di sekitar lingkungan kita ini mengambil hal-hal
yang positif untuk bisa mengatasi jaman yang sudah edan ini. Selanjutnya dengan
cara membungkus realitas agar tidak terlalu vulgar, artinya para sastrawan
menanggapi jaman edan ini dengan cara membuat sebuah karya, contohnya saja
dengan membuat puisi yang mana isinya menyinggung jaman edan dengan
sentuhan-sentuhan politiknya.
Konteks jaman edan di atas
menunjukkan spirit jaman, manusia serba repot dan salah kaprah menanggapi
suasana jaman ini. Semangat jaman di era R. Ng. Ranggawarsito, lebih menekankan
dua hal, yaitu: kekuasaan, artinya banyak warga masyarakat yang gila kekuasaan,
dan harta benda, artinya sebuah kebanggaan akan sebuah material. Namun jaman
edan era Ranggawarsito dengan jaman edan sekarang saya kira berbeda, karena
jaman edan sekarang saya kira sudah sangat parah daripada jaman dulu. Saya
ambil contoh saja pada era presiden Soeharto, jaman itu Pak Soeharto memegang
penuh kekuasaan atas negara ini. Begitu juga harta benda yang sebagian
merupakan hasil korupsi dikuasai oleh Pak Soeharto. Pada jaman itu hanya Pak
Soeharto saja yang menguasai kekuasaan dan harta benda. Selain Pak Soeharto
pasti akan didepak atau dibunuh oleh utusan-utusan Pak Soeharto. Namun, pada
jaman edan sekarang ini justru semakin parah. Banyak orang-orang yang
berlomba-lomba untuk mengejar kekuasaan dan harta benda, dari para pejabat
pemerintahan sampai karyawan perusahaan. Jika sikap seperti itu terus ada pada
diri manusia di negara ini maka akan hancurlah sebuah jati diri bangsa dan
negara kita.
Baudrillard (Cavallaro, 2004:
272-273) mengisyaratkan bahwa hiper-realitas adalah sebuah simulakrum.
Permainan ilusi yang menciptakan suasana halusinasi dimana manusia hidup dalam
keadaan yang tidak nyata. Manusia dikatakan hidup di dunia ini sedang melakukan
sebuah sandiwara kehidupan yang mau tidak mau pasti dilakukan.
Jaman edan tampak mengikuti aliran
dan irama kepemimpinan. Begitu pula sastra dan kekuasaan tampak berjalan
beriringan. Hegemoni kekuasaan kadang-kadang menekan sumbu batin rakyat, yang
artinya kekuasaan para pemimpin terkadang berlaku tidak adil untuk rakyat kecil
sehingga rakyat kecil selalu tertekan dengan keadaan yang seperti itu. Keadaan
yang seperti itulah yang membuat para sastrawan dan penyair membuat sebuah
karya lewat puisi yang isinya untuk menggelitik para pemimpin bangsa supaya
keadilan lebih ditegakkan lagi. Adapun kelemahan dari cara yang dilakukan para
penyair dan sastrawan itu adalah ketika sebuah karya itu dibuat hanya sebagian
kalangan saja yang mungkin menanggapinya, dan tidak sampai kepada presiden
untuk ditanggapinya.
Paling tidak, sampai detik ini
manusia dapat diketengahkan bahwa manusia yang gemar bermain simbol tentang
jaman edan sudah mewariskan motif dan ideologi. Puisi dan prosa sebagai saksi
jaman edan yang penuh teka-teki sebagai sebuah etnografi sastra yang penuh
problematika makna. Kalau kita sebagai sastrawan membandingkan puisi dengan
cerpen jaman edan, hal itu sama seperti dengan gagasan Benedetto Crose (Gifford,
1995: 2) yaitu sebagai pengambangan dari ide “across leterature”. Artinya persilangan budaya dalam sastra itu
wajar terjadi pengambangan dan harus ada timbal balik yang berbeda antara
karya-karya yang sudah lebih dahulu muncul dari pada yang sudah terjadi
persilangan tersebut. Semuanya karya tersebut pada akhirnya tetap pada wujud
aslinya yaitu karya yang ditujukan untuk menanggapi jaman edan yang terjadi
dari dulu sampai sekarang ini.