Jumat, 09 Maret 2012

NYAI DASIMA

NYAI DASIMA
NOVEL G.FRANCIS(1860-1915)

            Cerita Nyai Dasima dikarang oleh G.Francis pada tahun 1896 dan kini dapat dibaca sebagaimana aslinya dalam Tempo Doeloe (Toer, 2003, halaman 83-126). Panjangnya 28 halaman, lebih singkat daripada cerpen “Bawuk” karangan Umar Kayam sepanjang 43 halaman dalam Sri Sumarah dan Bawuk (Kayam, 1975). Kalau jumlah halaman itu dipergunakan sebagai tolok ukur cerpen atau novel, boleh jadi Nyai Dasima disebut cerpen atau novelet. Akan tetapi, oleh Jakob Sumardjo (2004) Nyai Dasima dimasukan ke dalam kelompok novel.
            Terlepas dari penamaan itu, cerita Nyai Dasima pantas dibaca-baca lagi dengan sejumlah alasan. Dalam Tempo Doeloe (2003: 8-9) dijelaskan bahwa alasan penerbitan cerita itu adalah (1) mengenal kembali bacaan pada sekitar awal abad ke-20, (2) menyelamatkan khazanah sastra yang masih bisa diselamatkan, dan (3) membuka ruang telaah keadaan dan semangat zaman. Alasan lain adalah semakin banyak perhatian para pengamat sastra Indonesia di luar negeri terhadap cerita-cerita masa lampau.
            Menurut catatan Jakob Sumardjo maupun Pramoedya, cerita tersebut amat termasyur di kalangan masyarakat Indonesia pada awal abad ke-20, terbukti beratus kali dimainkan dalam teater rakyat kota dan sudah tiga kali difilmkan. Pada tahun 1929 dan 1930 difilmkan oleh Tan Bersaudara, tshun 1940 difilmkan dengan versi baru oleh JIF, dan pada tahun 1970 difilmkan oleh Chitra Dewi Film Production dengan judul Samiun dan Dasima yang menampilkan pemain Chitra Dewi, W.D.Mochtar, Sofia W.D.,Wahid Chan, dan Fifi Young. Catatan itu saja mengisyaratkan popularitas Nyai Dasima sehingga sayang jika dilewatkan begitu saja.
            Intisari kisah tersebut adalah nasib tragis seorang nyai (istri yang tidak dinikah resmi) bernama Dasima dari Kampung Kuripan Batavia (sekarang Jakarta). Dasima sebagai seorang gadis yang cantik telah dijadikan nyai oleh Edward W, seorang inggris yang bekerja di sebuah toko. Mereka tinggal di daerah Gambir dan sudah delapan tahun hidup berbahagia sebagai suami istri dengan seorang anak perempuan bernama Nancy. Kecantikan Nyai Dasima ternyata memikat perhatian sejumlah lelaki yang berminat menikahinya secara resmi. Akan tetapi, Nyai Dasima tetap bertahan pada statusnya sebagai nyai, karena merasa telah dicukupi segalanya oleh sang suami, bahkan pernah mendengar kehendak Edward untuk meresmikan perkawinan meskipun terhalang oleh perbedaan agama.
            Kemudian muncullah tokoh Samiun, seorang penjual opium gelap (sekarang lazim disebut narkoba) yang terpikat oleh kecantikan Nyai Dasima dan berminat memperistrinya. Berhubung Samiun sendiri sudah beristri, dipakailah alasan hendak menguras harta kekayaan Tuan Edward. Alasan itu disetujui oleh istri Samiun dengan pernyataan bersedia dimadu. Persetujuan itu pun memantapkan niatnya hendak memiliki Nyai Dasima.
            Dalam melaksanakan niat itu Samiun meminta bantuan Mak Buyung untuk membujuk Nyai Dasima agar bercerai dari Tuan Edward. Mak Buyung yang ditawarkan sebagai pelayan rumah tangga Edward berhasil menggoyahkan kesetiaan Nyai Dasima sehingga berkeputusan meminta cerai dari Edward dengan alasan perbedaan agama. Jadilah Nyai Dasima menikah dengan Samiun sehingga seluruh harta kekayaan yang berasal dari Tuan Edward jatuh ke tangan Samiun. Sedihnya lagi, Nyai Dasima diperlakukan sebagai budak dalam rumah tangga Samiun.
            Sadar akan kesalahannya, Nyai Dasima pun meminta cerai dari Samiun. Namun, permintaan itu ditolak Samiun, kecuali jika seluruh harta menjadi milik keluarga Samiun. Hal itu mendorong Nyai Dasima untuk mengadukan perkara kepada polisi dan pengadilan. Ternyata ancaman itu membuat Samiun ketakutan dan timbullah niatnya merencanakan pembunuhan. Dengan bantuan seorang pembunuh bayaran, Samiun berhasil mengakhiri kehidupan Nyai Dasima. Mayatnya dibuang di kali yang hulunya mengalir di belakang rumah Tuan Edward. Kebetulan pada esok harinya mayat itu pun ditemukan orang tersangkut di belakang rumah tersebut sehingga menjadi urusan polisi dan pengadilan. Dengan mudah, si pembunuh pun ditangkap dan Samiun mengakui kejahatannya.
            Menurut Jakob Sumardjo, cerita itu bertema haus harta, bukan masalah perbedaan agama. Itulah sebabnya orang mudah menerimanya sebagai cerita favorit selama lebih dari 50 tahun. Aspek lain yang dipandang penting adalah ketrampilan G.Francis membangun karakter tokoh-tokohnya. Di dalam kisah itu tampak keluguan pribadi Nyai Dasima, tetapi juga tampak keberaniannya menuntut hak dan memperjuangkan kebenaran. Tampak juga keluwesan Mak Buyung membujuk Nyai Dasima dan tergambar jelas kesibukan sehari-hari Tuan Edward di tengah kesibukan kota Betawi pada zamannya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar